KYAI GADUNGAN
Sekian tahun tinggal di pesantren, Jon Koplo dan Tom Gembus merasa jenuh juga. Seperti layaknya remaja lain, dua penghuni sebuah pondok pesantren di Ceper, Klaten, ini juga ingin refreshing meski harus nglimpekke (sembunyi-sembunyi) kyai-kyai pengasuh mereka. Kebetulan di hari ke-10 Bulan Muharam lalu, di kampung sebelah ada acara pengajian dan pemberian santunan anak yatim disertai hiburan. Mereka pun ngacir ke sana.
Memasuki tempat acara, beberapa among tamu sudah berjejer rapi berpakaian jas dan berdasi. Nah, cerita lucunya di sini. Ada satu orang laki-laki yang berpenampilan ala kyai, pakai baju koko, peci putih plus serban merah kotak-kotak. Jon Koplo dan Tom Gembus segera ikut bersalaman seperti tamu-tamu yang lain.
Giliran sampai di depan laki-laki “kyai” tadi, dengan keduanya penuh takzim dikecupnya tangan sang “kyai”, layaknya santri bersalaman dengan kyainya di pondok. Selesai bersalaman, Koplo dan Gembus duduk di kursi yang telah disediakan,tepatnya di pojok kanan paling belakang. Tak dinyana dan tak diduga, tiba-tiba “kyai” tadi duduk di samping Koplo dan Gembus. Bagi mereka, duduk bersanding dengan seorang ulama adalah suatu kebanggaan. Wuihhh…
Acara demi acara terlaksana. Setelah sambutan-sambutan, ternyata ada sebuah acara tradisi, yakni rayahan duit receh untuk anak-anak kecil. Dan tak disangka-sangka, tiba-tiba saja sang “kyai” yang sedari tadi duduk manis, ujug-ujug (tiba-tiba) meloncat-loncat kegirangan dan berlari menghambur ikut ngrayah (mengambili) duit bersama anak-anak kecil.
Sontak Koplo dan Gembus kaget bukan kepalang. “We lhadalah Mbus, tak kira iki mau kyai tenan je. Tiwas mundhuk-mundhuk, jebule wong ora genep. Isin aku ...” (arti: “Ya ampun Mbus, kukira orang itu kyai betulan. Sudah hormat sekali kita, ternyata orang gila. Malu aku…”) celetuk Koplo dengan nada kesal. Mereka pun ngakak bareng menertawakan diri sendiri. Wakakakakak…
BACA JUGA : Fakta Menarik Tentang Santri di Pesantren
KISAH KYAI KAMPUNG DI DPR
Setelah Orde Baru wassalam 1998, puluhan partai baru bermunculan seperti jamur di musim hujan. Orang-orang pesantren pun tidak ketinggalan. Nah salah satu partai yang didirikan oleh warga pesantren ternyata ikut-ikutan menang dan salah seorang “kiai kampung” (sebut saja begitu) terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebenarnya dia tidak seberapa sreg berada di dunia politik, akan tetapi demi menyampaikan ngaspirasi rakyat baiklah akhirnya dia bersedia.
Alkisah pada suatu saat terjadi sidang yang sangat alot. Sepertinya para anggota dewan sedang membahas masalah anggaran pendidikan. Kiai kampung tidak setuju dengan usulan mayoritas anggota DPR yang memberikan alokasi kecil untuk pendidikan, padahal pendidikan adalah prasyarat terpenting maju-mundurnya sebuah negara. Pendidikan yang dimasksud oleh kiai kampung tadi tentunya adalah pendidikan pesantren. Payahnya lagi, rekan-rekan satu partai pun berfikiran sama, mereka tidak memandang penting arti sebuah pendidikan. Sang kiai merasa sendirian di gedung milik rakyat itu.
Namun apa boleh dikata, kiai kampung sulit menyampaikan aspirasinya. Banyak peraturan di DPR yang sama sekali baru buatnya. Banyak sekali istilah-istilah aneh yang baru didengar. Sementara sang kiai, jangankan untuk ikut menyampaikan usulan, membaca draft undang-undang berbahasa Indonesia saja setengah berkeringat. Kiai kampung hanya mahir memahami teks Arab atau menuliskan sesuatu dengan huruf Arab.
Sidang terus berlangsung. Sang kiai kampung tidak bisa menahan diri akhirnya ia menuliskan beberapa kalimat berbahasa Indonesia dengan huruf arab (kita menyebutnya arab pegon). Dan sang kiai langsung maju ke depan menemui ketua sidang. Ruang sidang tiba-tiba sunyi senyap. Semua mata tertuju kepada kiai dan ketua sidang.
Kiai kampung langsung memberikan selembar kertas yang telah ditulisnya. Ketua sidang sebenarnya pernah belajar di pesantren kiai kampung tapi belum sampai mahir memahami tulisan Arab. Kertas tadi dia ambil lalu dimasukkan ke sakunya karena dia kira itu berisi doa atau sejenis jimat, lalu bicara, “Ini kiai kampung sebagai yang dituakan di partai anu telah menyetujui budget kita sekian agar tidak menganulir lainnya, buktinya beliau telah merestui saya.” Ketua sidang mengambil lagi kertas dari sakunya dan menunjukkan kepada para anggota sidang.
“Iya tapi saya tidak setuju kalau anggarannya segitu,” kata kiai kampung menyahut sambil berjalan ke tempat duduk semula, meskipun ia yakin tidak faham betul apa itu ‘budget sekian’ dan ‘menganulir’ yang dimaksud oleh ketua sidang.
Sidang lalu kembali ramai memperdebatkan soal angka. Waktu itu hampir disepakati besaran angka tertentu yang lebih tinggi dari semula. Namun kiai kampung tetap tidak puas dan dia langsung keluar sidang. Para anggota dewan pun terkejut.
“Kiai kampung walk out, kita tunda dulu sebentar,” kata ketua sidang sambil mengetuk palu. Beberapa orang mengikuti kiai tadi keluar ruangan termasuk ketua sidang tadi.
Sementara itu kiai kampung langsung bergegas ke musholla. Dia bercerita kepada rekannya yang lebih awal mengikutinya. “Saya ingin berdoa biar usulan saya dikabulkan oleh Allah,” katanya. Rekannya bertanya-tanya tapi mereka ikuti saja yang dilakukan kiai kampung.
Kiai kampung langsung bergegas melakukan sholat dua raka’at dan membaca doa istighothsah diikuti rekan-rekannya, termasuk ketua sidang tadi. Usai berdoa, kiai kampung sempat terkejut melihat ketua sidang, lalu berkata, “Alhamdulillah pak ketua sidang akhirnya setuju dengan usulan saya, buktinya dia ikut berdoa bersama kita. Sebagai wakil rakyat kita memang harus memandang arti pentingnya pendidikan,” katanya. Ketua sidang dan rekan-rekannya saling pandang, tapi akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa. Kiai kampung pun meneruskan taushiyahnya.
BACA JUGA : Harta, Tahta dan Wanita Adalah Fitnah Dunia
ROKOK SANG KYAI
Di satu pesantren di Jombang, Jawa Timur, santri-santri dilarang merokok. Dan mbah kiai pengasuh pesantren tidak segan-segan memberikan takzir (hukuman) setimpal pada santri yang melanggar. Namun ada saja santri nakal yang melakukan pelanggaran.
Beberapa gelintir santri yang tidak tahan ingin merokok mencari-cari kesempatan di malam hari, pada saat gelap di sudut-sudut asrama atau di gang-gang kecilnya, atau di tempat jemuran pakaian atau di pekarangan kiai.Satu malam seorang santri perokok ingin melakukan aksinya. Ia bergegas ke kebun blimbing. Ia dekati seorang temannya di kejauhan sedang menyalakan rokok.
“Kang, join rokoknya ya…” katanya sambil menyodorkan jari tengah dan telunjukknya.
Temannya langsung menyerakan rokok yang dipegangnya.
Santri perokok langsung mengisapnya. “Alhamdulillah, nikmatnya…” katanya. Diteruskan dengan isapan kedua.
Rokok semakin menyala, dan… dalam gelap dengan bantuan nyala rokok itu lamat-lamat ia baru sadar siapa yang sedang dimintainya rokok. Namun santri belum yakin dan diteruskan dengan isapan ketiga… Rokok semakin meyala terang.
Ternyata… yang dia mintai rokok adalah kiainya sendiri.
Santri kaget dan ketakutan. Dia langsung kabur. Lari tunggal langgang tanpa sempat mengembalikan rokok yang dipinjamnya.
Sang kiai marah besar: “Hei rokok saya jangan dibawa, itu tinggal satu-satunya, kang…”
0 komentar:
Post a Comment