Monday, 31 October 2016

Biografi Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani (Raja dari Para Wali)

Siapa yang tidak kenal Syaikh Abdul Qadir al-Jailani? Sosok ulama yang satu ini memang cukup dikenal dalam literatur pemikiran dan khazanah ke-Islaman. Tak terkecuali bagi kaum muslimin di Indonesia, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah ulama yang banyak berpengaruh dan banyak dijadikan rujukan dalam kitab-kitab agama Islam, terutama dalam bidang ilmu tashawuf.

Nama asli dari ulama karismatik ini adalah Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qadir. Seorang ahli sejarah Islam, Ibnul Imad al-Hanbali menyebutkan tentang nama lengkap Syaikh Abdul Qadir al-Jailani sebagai berikut, “(beliau adalah) Syaikh Abdul Qadir bin Abi Sha-lih bin Janaki Dausat bin Abi Abdillah Abdullah bin Yahya bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa al-Huzy bin Abdullah al-Himsh bin al-Hasan bin al-Mutsanna bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib al-Jailany”. (Syadzarat adz-Dzahab, 4/198) Dari pen-jelasan ini, jelas bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah keturunan dari Sahabat Ali bin Abi Thalib.

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani lahir di Kota Jailan atau Kailan pada tahun 470 H/1077 M. Itulah kenapa di akhir nama beliau ditambahkan kata al-Jailani atau al-Kailani, yang berarti dari kawasan Jailan, yang kini bernama provinsi Mazandaran, Gilan, dan Golestan di Persia (Iran). (Lihat Mu’jam Al-Buldan, 4/13-16, oleh Abu Abdillah Yaqut bin Ab-dillah al-Hamawy)

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan Thariqat Qadiriyah

Saat usia 8 tahun, beliau sudah me-ninggalkan kota kelahirannya menuju Baghdad, yang saat itu Baghdad dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan. Selanjutnya pada tahun 521 H/1127 M, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengajar dan menyampaikan fatwa-fatwa agama kepada masyarakat hingga beliau dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun, be-liau menghabiskan waktunya sebagai pengembara di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh besar yang harum namanya dalam dunia Islam.

Sejak itulah, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani disebut-sebut sebagai tokoh sufi yang mendirikan Tariqhat Qodiriyah, sebuah istilah yang tidak lain berasal dari namanya. Tariqhat ini terus berkem-bang dan banyak diminati oleh kaum muslimin. Meski Irak dan Syiria disebut sebagai pusat dari pergerakan Tariqhat ini, namun pengikutnya berasal dari belahan negara muslim lainnya, seperti Yaman, Turki, Mesir, India, hingga se-bagian Afrika dan Asia.

Perkembangan Tariqhat ini semakin melesat, terlebih pada abad ke ke 15 M. Di India misalnya, Tariqhat Qadiriyah berkembang luas setelah Muhammad Ghawsh (1517 M) memimpin Tariqhat ini. Dia juga mengaku sebagai keturunan dari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Di Turki ada Ismail Rumi (1041 H/1631 M) yang diberi gelar mursyid kedua dari Tariqhat Qadiriyah. Adapun di Makkah, penyebaran Tariqhat Qodiriyah sudah bermula sejak 1180 H/1669 M.

Berbeda dengan beberapa Tariqhat lainnya, Tariqhat Qadiriyah dikenal sebagai Tariqhat yang luwes. Dalam pan-dangan shufi, seseorang yang sudah mencapai derajat mursyid (guru) tidak mesti harus mengikuti Tariqhat guru di atasnya lagi. Ia memiliki hak untuk memperluas Tariqhat Qadiriyah dengan membuat Tariqhat baru, asalkan sejalan dengan Tariqhat Qadiriyah.

BACA JUGA : Biografi KH Mohammad Hasyim Asy'ari ( Pendiri Nahdlatul Ulama )

Dari sifat keluwesannya ini, Tariqhat Qadiriyah memiliki banyak anak cabang yang masing-masing memiliki mursyid-nya. Sebut saja seperti Tariqhat Benawa yang berkembang pada abad ke-19, Tariqhat Ghawtsiyah (1517), Thariqhat Junaidiyah (1515 M), Thariqhat Kama-liyah (1584 M), Thariqhat Miyan Khei (1550 M), dan Thariqhat Qumaishiyah (1584), yagn semuanya berkembang di India. Di Turki terdapat Tariqhat Hin-diyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah, dan Waslatiyyah. Adapun di Yaman ada Tariqhat Ahda-liyah, Asadiyah, Mushariyyah, ‘Urabiy-yah, Yafi’iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla’iyah. Sedangkan di Afrika terdapat Tariqhat Ammariyah, Bakka’iyah, Bu’aliyya, Manzaliyah dan Tariqhat Jilala. Thariqat Jilala ini adalah sebuah nama lain yang dialamatkan oleh masyarakat Maroko kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.

Adapun di Indonesia, Thariqat Qa-diriyah berkembang pesat yang berasal dari kawasan Makkah, Arab Saudi. Thariqat Qadiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Pulau Jawa. Ada beberapa pesantren yang menjadi pusat pergerakan Thariqat Qadiriyah ini. Sebut saja seperti Pesan-tren Suryalaya Tasikmalaya (Jawa Ba-rat), Pesantren Mranggen (Jawa Tengah), dan Pesantren Tebuireng Jombang (Ja-wa Timur).

Sebagai informasi tambahan, orga-nisasi agama di Indonesia yang tidak bisa dilepaskan dari Thariqat Qadiriyah adalah Nahdhatul Ulama (NU) yang berdiri di Surabaya pada tahun 1926. Ada juga organisasi lain seperti al-Washliyah dan Thariqat Qadiriyah Naqsa-bandiyah yang merupakan organisasi resmi di Indonesia.

Karya-karya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani

Berikut adalah beberapa kitab yang menjadi karya tulis beliau:

    Al-Ghunyah li Thalib Thariiq al-Haq fi al-Akhlaq wa al-Tashawuf wa al-Adab al-Islamiyah.
    Futuh al-Ghaib
    Al-Fath al-Rabbani wa al-Faidl al-Rahmani

Demikianlah, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang hidup dengan penuh pengabdiannya kepada Islam. Beliau wafat pada malam Sabtu ba’da maghrib di daerah Babul Azajwafat, Baghdad, pada tanggal 8 Rabiul Akhir 561 H / 1166 M. Jenazahnya dimakamkan di madrasahnya sendiri setelah disaksikan oleh ribuan jama’ah yang tak terhitung jumlahnya.

Klaim Keramat
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani

Pada tulisan kali ini, kita akan sedikit menyimak beberapa kisah yang dialamatkan (ditujukan) kepada Syaikh Ab-dul Qadir al-Jailani. Kisah-kisah tersebut banyak tertulis di beberapa kitab dan cukup dikenal luas oleh kalangan kaum muslimin. Namun dalam hal ini, kita perlu tahu bahwa banyak dari kisah-kisah tersebut yang fiktif (tidak nyata kebenarannya).

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan Kisah-Kisah Ajaibnya


Diceritakan oleh Muhammad bin al-Khidir bin al-Husaini bahwa ayahnya berkata,” Jika Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memberikan pelajaran berbagai disiplin ilmu di majlisnya, maka perkataannya tak pernah terputus. Tidak ada seorangpun yang berani meludah, mendengus, berdehem, berbicara, maupun maju ke tengah majlis karena kharisma beliau.

Keagungannya membuat orang-orang yang hadir ikut berdiri jika beliau datang ke dalam majlisnya. Karismanya membuat semua orang hening ketika beliau memerintahkan mereka untuk diam sampai yang terdengar hanya hembusan nafas mereka. Tangan orang-orang yang hadir dalam majlisnya sampai bersentuhan dengan kaki orang lain. Beliau mengenali mereka satu persatu hanya dengan memegang tanpa harus melihat wajahnya.

Orang yang jauh sekalipun bisa men-dengar ucapan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Bahkan beliau bisa menebak isi hati seseorang dan memberi nasihat berdasarkan ucapan batin dalam diri-nya.

Diriwayatkan pula bahwa arwah pa-ra nabi berpusar mengelilingi majlis Syaikh Abdul Qadir al-Jailani baik di langit maupun di bumi bak angin yang berpusar di ufuk. Juga malaikat meng-hadiri majlisnya berkelompok demi kelompok.

Syaikh Abu Madyan bin Syuaib ber-kata, “Ketika aku bertemu dengan Al-Khidr, aku bertanya tentang para syaikh (wali Allah) dari barat sampai timur saat ini. Ketika aku bertanya tentang Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, dia (al-Khidir) berkata, “Beliau adalah imam golongan as-Shidq, hujjah bagi kaum ‘arif. Dia adalah roh dalam ma’rifah dan posi-sinya dibandingkan dengan para wali lainya adalah al-Qurbah (kedekatan).”

BACA JUGA : Biografi KH. Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971 M)

Dari Syaikh Muhammad bin Harawi, ia berkata, “Suatu hari ketika Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berbicara di ma-jlisnya, beliau terdiam beberapa saat kemudian berkata,” Jika aku meng-inginkan Allah swt mengirimkan burung hijau yang akan mendengarkan perka-taanku maka Ia akan mengabulkannya’. Sekejap kemudian majlis tersebut dipe-nuhi oleh burung berwarna hijau yang dapat dilihat oleh semua yang hadir’”.

Masih soal burung, suatu saat ada seekor burung yang melintas di atas majlis Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Kemudian beliau berkata, “Demi Allah yang disembah, jika aku mengatakan ‘matilah terpotong-potong’ kepada burung itu maka hal itu pasti terjadi”. Se-telah beliau selesai mengucapkannya, burung tersebut jatuh dalam keadaan mati terpotong-potong”.

Syaikh Baqa bin Bathu An-Nahri al-Makki berkata,“Ketika Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berbicara di tangga per-tama kursinya, tiba-tiba perkataan beliau terputus dan beliau tidak sadarkan diri beberapa saat. Setelah sadar beliau langsung turun dari kursi dan kemudian kembali menaiki kursi tersebut dan duduk di tangga kedua. Dan aku menyak-sikan tangga pertama tersebut mema-njang sepanjang penglihatan dan di-lapisi sutera hijau. Telah duduklah di sana Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Saat itu Allah swt ber-tajalli (merupakan istilah tasawuf yang berarti ”penampakan diri Tuhan yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas) sehingga membuat beliau miring dan hampir jatuh jika tidak dipegang oleh Rasulullah saw. Kemudian beliau tampak semakin menge-cil hingga sebesar burung, kemudian menjadi sangat besar dan kemudian semakin menjauh dariku”.

Ketika syaikh Baqa’ ditanya tentang penglihatannya kepada Rasulullah saw dan para sahabatnya, beliau berkata, “Semua itu adalah arwah mereka yang membentuk. Hanya mereka yang dia-nugerahi kekuatan saja yang dapat me-lihat mereka dalam bentuk jasad dan segala sifat fisik.”

Sedangkan saat beliau ditanya ten-tang Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang mengecil dan membesar, Syaikh Baqa’ berkata, “Tajalli pertama tidak bisa ditahan oleh orang biasa kecuali dengan pertolongan Nabi. Oleh karena itu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani nyaris terjatuh. Sedangkan Tajalli kedua didasarkan pada sifat ke-Agungan yang berasal dari Yang Disifati, oleh karena itu beliau mengecil. Sedangkan tajalli ketiga di-dasari pada sifat ke-Maha Indahan Allah, oleh karena itu beliau membesar. Semua itu adalah anugerah Allah kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan sesungguhnya Allah memiliki anugerah yang a-gung”.

Syaikh Harawi berkata, “Aku mela-yani Syaikh Abdul Qadir al-Jailani selama 40 tahun, selama itu beliau se-lalu melaksanakan shalat subuh dengan wudhu shalat isya’. Jika beliau berha-dats, beliau segera memperbaharui wudhunya. Dan setelah shalat isya’ beliau masuk seorang diri ke dalam ruang khalwatnya dan tidak keluar hingga fajar.

Syaikh Ahmad Rifa’i berwasiat ke-pada keponakan-keponakannya, “Jika kalian tiba di Baghdad, dahulukan me-ngunjungi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani jika beliau masih hidup. Atau menziarahi kuburnya apabila beliau sudah meninggal. Karena beliau telah mengambil janji Allah bahwa semua pemilik kondisi spiritual yang tidak menomor satukan beliau akan dicabut kondisi spiritual yang di-milikinya. Syaikh Abdul Qadir benar-benar merupakan kerugian begi mereka yang tidak melihatnya.”

Syaikh Umar al-Bazaar berkata, “Su-atu hari aku duduk di hadapan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dalam khalwatnya. Beliau berkata kepadaku, ‘Jaga punggungmu karena akan ada kucing yang jatuh di punggungmu’. Dalam hati aku berkata, ‘ Dari mana datangnya kucing? Tidak ada lubang di atas dan…..’ Se-belum selesai bicara, tiba-tiba seekor kucing jatuh ke punggungku. Kemudian beliau memukulkan tangannya ke dadaku dan aku mendapati cahaya terbit dari dalam dadaku bak mentari. Dan aku menemukan al-Haq pada saat itu.

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ber-kata, “Ibadah haji pertamaku aku lakukan pada saat aku masih muda dan sedang melaksanakan Tajrid (pelepasan). Saat aku tiba di daerah Umm al-Qurn aku bertemu Syaikh Uday bin Musafir yang juga masih muda. ‘Mau kemada engkau?’ Tanya Syaikh Uday kepadaku. ‘Makkah Al-Musyarafah’, jawabku. ‘Apa engkau bersama seseorang?’ tanya Syaikh Uday kembali. ‘Aku sedang melaksanakan tajrid,’ jawabku.


Kemudian kami berdua melanjutkan perjalanan. Ditengah perjalanan kami berjumpa seorang wanita kurus dari Habsyi (Ethiopia). Dia berhenti di depanku dan memandangi wajahku lalu kemudian berkata, ‘Anak muda, dari manakah engkau?’ Aku menjawab, ‘O-rang Ajam (non-Arab) yang tinggal di Baghdad’. ‘Engkau telah membuatku lelah hari ini,’ sahutnya. ‘Kenapa?’ tanyaku. Kemudian wanita itu pun menjelaskan alasannya, ‘Satu jam yang lalu aku berada di Habsyi kemudian Allah menunjukkan hatimu kepadaku sekaligus anugerah-Nya kepadamu yang belum pernah aku saksikan diberikan-Nya kepada selain dirimu. Hal itu menyebabkan aku ingin mengenal dirimu. Hari ini aku ingin berjalan bersama kalian melewatkan malam bersama kalian’.

Lantas akupun berkata, ‘Itu merupakan kehormatan buat kami’. Setelah itu dia mengikuti kami berjalan di sisi lain wadi (aliran sungai gurun) tersebut. Ketika tiba waktu maghrib dan saat makan malam tiba, sebuah nampan turun dari langit yang berisi 6 potong roti beserta lauk pauknya. ‘Subhanallah segala puji dan syukur bagi Allah yang telah memuliakan aku dan tamuku’, ungkap perempuan tersebut.

Malam itu, setiap dari kami memakan dua potong roti. Selesai makan, datanglah tempat air dan kami meminum air yang kesegaran dan rasanya tidak ada di dunia ini. Setelah itu, perempuan itupun pergi meninggalkan kami.

Kisah selanjutnya adalah, ada seorang kafilah yang kehilangan 4 untanya di hutan. Kemudian ia teringat akan pesan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bahwa jika dirinya mendapat kesulitan, maka diperintahkan untuk menyebut nama Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Kemudian kafilah itu menyebut nama Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Tiba-tiba, ada seorang berjubah putih di atas bukit dengan melambaikan tangan. Kafilah tersebut menuju sosok yang dimak-sud. Namun setelah sampai di atas bu-kit, sosok tersebut hilang dan malah ia menemukan ke 4 unta yang sedang dicarinya.

Demikianlah, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani beserta kisah-kisah hidup, ilmu, dan karamah yang ditujukan kepadanya.




Editor : Mohamad Asror M.

0 komentar:

Post a Comment