Friday, 28 October 2016

Biografi KH. As'ad Syamsul Arifin (1897-1990 M)

A. Pendahuluan
Kiai As’ad merupakan kiai desa yang popularitasnya telah membelah semesta Indonesia. Sekalipun tinggal di dusun, tepatnya Dusun Sukorejo Asembagus Situbondo, resonansi Kiai As’ad kerap menggelar di langit-langit percaturan nasional. Misalnya tatkala kebanyakan tokoh Islam menolak Pancasila, Kiai As’ad bersama dengan tokoh-tokoh NU yang lain, seperti Kiai Achmad Shiddiq dan Ali Ma’shum, dengan lantang tampil sebagai penerima utama Pancasila sebagai satu-satunya asas.

Ketika sejumlah tokoh Islam mengutip argumen normatif atas penolakannya terhadap Pancasila, dengan tegas Kiai As’ad mengatakan bahwa secara substantif Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai al-Qur’an dan as-Sunnah. Walaupun tidak eksplisit kata al-Qur’an dan as-Sunnah tidak tercantum dalam sila-sila Pancasila, ajaran-ajaran fundamental Islam telah terpatri di sana.

Atas sikap dan pendiriannya itu, Kia As’ad menuai berbagai kritik keras dari beberapa tokoh Islam. Berpuluh-puluh surat kaleng yang berisi cercaan, kecaman dan hinaan terhadap diri Kiai As’ad mengalir dengan deras ke rumah kediamannya. Bahkan Kiai As’ad pernah mendapatkan ancaman pembunuhan dari beberapa orang yang mengklaim sebagai pejuang dan pembela Islam. Singkat kata Kiai As’ad telah mengorbankan nyawa atas Pancasila sebagai Ideologi Nasional dan satu-satunya asas di Indonesia. Terhadap semuanya itu, Kiai As’ad menanggapinya dengan senyuman ramah sembari mengatakan bahwa kesabaran adalah persyaratan mutlak yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin.

Dalam konteks ke-NU-an, Kiai As’ad merupakan satu-satunya orang yang ditunjuk oleh Mukhtamar NU ke-2 untuk menyusun “Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi” untuk selanjutnya membentuk kepengurusan PBNU setelah NU ke kembali ke Khittah 26, dimana Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Ketua Umum PBNU pertama kalinya. Ia juga bersama para ulama sesepuh seperti, KH. Ali Ma’shum, KH. Makhrus Ali, dan KH. Achmad Siddiq, dikenal sebagai andalan untuk melerai kemelut yang melilit tubuh NU saat itu.

BACA JUGA : Biografi Syaichona Kholil Bangkalan Madura (Gurunya Para ulama Besar di Jawa dan Madura)

Penerimaan NU atas Pancasila sebagai satu-satunya asas sebelum ditetapkannya UU Ke-ormas-an, yang dikukuhkan oleh Munas NU di Pesantren Sukorejo, pasti tidak bisa dipisahkan dari pengaruh Kiai As’ad. Bahkan tekad NU untuk kembali ke Khittah 26 agaknya tidak luput dari peran yang dimainkannya bersama kiai-kiai yang lain.

Kia As’ad juga termasuk Pengasuh Pondok Pesantren yang tergolong besar di Jawa Timur. Pesantren Salafiyah Syafi’iyah yang diwariskan oleh ayahhandanya, Kiai Syamsul Arifin, di tangan Kiai As’ad telah berkembang dengan pesat. Ribuan santri dari penjuru Nusantara, bahkan hingga dari manca negara seperti Malaysia, Brunai dan Mekkah belajar di pesantren asuhan Kiai As’ad. Kiai As’ad memang tipe ulama kharismatik. Pengaruh dan wibawanya tidak hanya terbatas pada satntrinya saja, tetapi juga merambah sampai ke level masyarakat bawah, terutama di Jawa Timur dan Pulau Madura.

Waktu hidupnya, setiap hari di kediamannya tidak pernah sepi dari kunjungannya para tamu dari pelbagai lapisan sosial masyarakat, mulai dari rakyat bawah (grass root) hingga para pejabat tinggi dan tertinggi negara, mulai dari ujung barat Indonesia sampai ujung timur Indonesia.

Dengan peran-perannya, maka wajar jika memori kolektif umat Islam Indonesia, terlebih warga NU, sangat lekat dengan nama Kiai As’ad Syamsul Arifin, seorang ulama dari Jawa Timur atau tepatnya dari Sukorejo Asembagus Situbondo Jawa Timur. Akan tetapi meskipun nama Kiai As’ad telah tersohor, ia tetap tampil dengan penuh kesederhanaan, tidak hidup mewah. Pakainnya serba putih dan rumahnya yang beratapkan rumbia adalah bukti kuat perihal kebersahajaannya ini. Kiai As’ad dikenal sebagai kiai yang zahid dan wari’. Ia seorang wali yang memiliki kemampuan kasyf yang tinggi.

B. Kelahiran dan Pendidikan


Kiai As’ad Syamsul Arifin dilahirkan pada tahun 1897 M /1315 H di Syi’ib Ali, Makkah dari pasangan suami istri Raden Ibrahim dan Siti Maemunah. Ketika As’ad lahir, oleh ayahnya langsung dipeluk dan dibawa menuju Ka’bah. Jarak antara Syi’ib Ali dan Ka’bah memang tidak terlalu jauh sekitar 200 meter. Di sisi Baitullah itulah, sang ayah membisikkan kalimat adzan dan kemudian memberinya nama bayi laki-laki itu dengan As’ad.

Berkaitan dengan nama As’ad tersebut terdapat suatu anekdot yang menarik. Alkisah, pemberian nama As’ad itu justru karena mimpi Raden Ibrahim tatkala sang istri, Siti Maemunah, sedang hamil tua. Konon, Raden Ibrahim bermimpi melihat kandungan istrinya membesar lalu melahirkan bayi berbulu macan seperti bulu singa. Di kedua bahunya tertulis kata Arab “Asad” yang berarti juga singa.

Karena itu tatkala sang bayi lahir, serta merta Raden Ibrahim memasukkan kata Asad dalam namanya. Dus, jadilah nama bayi itu As’ad yang jika dibaca tanpa tanda petik, menjadi Asad yang bermakna singa. Asad juga memiliki nasab sampai ke Nabi Muhammad Saw. dan mempunyai hubungan darah dengan para wali penyebar Islam di Jawa, seperti Sunan Drajat dan Sunan Ampel. Sedangkan gelar Raden di depan namanya memang disematkan bagi anggota-anggota sebagian keluarga terpandang (aristokrat), sebagai salah satu penghormatan.

Tatkala berusia 13 tahun, As’ad mondok di Banyuanyar di bawah asuhan Kiai Abdul Majid dan KH. Abdul Hamid.

Setelah ikut membantu ayahnya mendirikan Pondok Pesantren Sukorejo, saat usianya 16 tahun ayahnya mengirim As’ad ke Makkah untuk memperdalam ilmu agama di sana. Ia masuk di Madrasah Shaulatiyah. Disamping belajar di madrasah, ia juga berguru kepada kepada Sayyid Abbas al-Maliki, Syekh Hasan al-Yamani, Syekh Hasan Masyath, Syekh Bakir, dan Syekh Syarif asy-Syinqithi. Sedang teman seangkatan saat itu adalah KH. Zaini Mun’im, KH. Ahmad Thoha, KH. Baidhawi Banyuanyar Pamekasan.

Setelah beberapa tahun belajar di Makkah, pada tahun 1924 (kala itu As’ad berusia 25 tahun) ia kembali ke Tanah Air. Meski telah bertahun-tahun belajar di Makkah, Kiai As’ad merasa belum cukup ilmu untuk membantu mengajar di pondok. Karena itu setibanya di tanah air, As’ad kembali melakukan perjalanan keilmuan ke pesantren–pesantren lain, untuk belajar pada beberapa kiai. Dengan cara ini As’ad bukan hanya dapat memperkaya ilmunya sendiri dan sekaligus pengalaman hidupnya, tetapi bahkan memungkinkan terjadinya proses pertukaran keilmuan, yang pada gilirannya mendorong terjadinya pengayaan dunia keilmuan di lingkungan pesantren secara keseluruhan.

BACA JUGA : Biografi KH Mohammad Hasyim Asy'ari ( Pendiri Nahdlatul Ulama )

Dalam sejarahnya paling tidak As’ad pernah belajar sekurang-kurangnya di lima Pondok Pesantren, yakni Pesantren Sidogiri Pasuruan pada KH. Nawawi, Pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo pada KH. Khazin, Pesantren Nuqayah Guluk-guluk Sumenep, Pesantren Kademangan pada Kiai Muhammad Cholil Bangkalan dan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng pada KH. Hasyim Asy’ari.

Di Pesantren Tebuireng itulah, Kiai As’ad memperoleh kesan mendalam sebagai seorang santri. Menurutnya, Tebuireng merupakan pesantren yang paling berpengaruh bagi pembentukan kepribadiannya. Bahkan setiap kali menyinggung Pesantren Tebuireng ia senantiasa menyebut KH. Hasyim Asy’ari sebagai guru terakhir yang paling banyak membentuk wataknya. Di pesantren inilah As’ad bertemu dengan pemuda-pemuda yang kelak menjadi tokoh dan pendiri pesantren, seperti KH. Wahab Hasbullah. Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang, KH. Abdul Karim atau Mbah Manaf Lirboyo Kediri, KH. Abbas Buntet Cirebon.

Dari teropong intelektualitasnya, Kiai As’ad telah menulis karya-karya yang sebagian besarnya adalah bidang tasawuf dan beberapa bidang fiqih. Sekalipun As’ad lama belajar di Makkah, namun kitab-kitab yang disusun semuanya menggunkan bahasa lokal yakni bahasa Madura. Karena ia paham pembaca kitabnya (santri) sebagian besar dari kepulauan Madura serta agar ide-ide yang tepat sasaran dan mudah dimengerti.

C. Perjuangan dan Pengabdian

Tepat pada tahun 1938, As’ad mulai mengajar di Pondok Pesantren Sukorejo. Materi yang diajarkan kepada para santri Sukorejo adalah ilmu tauhid elementer yang dikenal dengan Aqidah al-‘Awam karangan Syekh Ahmad al-Marzuqi al-Maliki al-Makki.

Dalam pelajaran Fiqih menggunkan kitab Sullam at-Taufiq karya al-Habib Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’alwi (w. 1272 H/1855 M) dan Safinah an-Najah karya Syekh Salim bin Abdullah bin Samir al-Hadramani yang tinggal di Batavia pada pertengahan abad ke-19.

Tahun berikutnya 1939, Kiai As’ad menambah lagi materi pelajaran beberapa kitab antara lain, at-Tashrif li al-‘Izzi karya Syekh ‘Izzudin Ibrahim dan al-Ajrumiyah karya Syekh Abu Abdillah Muhammad ibn Daud ash-Shanhaji bin Ajurum (w. 723 H), al-Amtsilah at-Tashrifiyah li al-Madaris as-Salafiyah karya ulama Jawa KH. Muhammad Ma’shum ibn Ali dari Jombang. Materi ini selalu dibaca setelah shalat Isya’.

Sedangkan kitab tasawuf, Bidayah al-Hidayah karya Hujjatul Islam Abu hamid al-Ghazali (w. 1111 H), kitab fiqih at-Taqrib fi al-Fiqh dan Kifayah al-Akhyar karya Syekh ad-Dimasyqi (w. 829 H) biasa dibaca setiap habis Shubuh.

Selain kitab-kitab di atas, Kiai As’ad juga mewajibkan untuk membaca Qashidah al-Burdah, a-Daiba’i atau al-Barzanji secara berjama’ah setiap Kamis (malam Jum’at) di masjid atau mushalla. Bacaan Ratib al-Haddad juga dibaca pada peristiwa-peristiwa tertentu dalam berbagai ritual yang mengiringi siklus kelahiran seseorang dan untuk menangkal bahaya (tolak bala’).

Seperti lazimnya pondok pesantren salaf yang banyak memfokuskan orientasi keilmuannya pada hafalan, Kiai As’ad yang kala itu masih muda, energik dan kharismatik telah menggunakan sistem pengajaran dengan cara hafalan. Dimana pelaksanaan hafalan itu dilakukan dengan cukup serius dan ketat. Bagi santri yang telah diberi kelonggaran waktu tidak memenuhi tugas dan tidak menguasai hafalan yang ditetapkan Kiai As’ad maka harus menerima sanksi hukuman yang berat dari Kiai As’ad muda.

Kegiatan belajar mengajar saat itu masih sangat sederhana, sebab dilakukan di serambi masjid tanpa tempat duduk dan papan tulis. Dan para santri berpakaian khas Jawa (pakai blangkon) dengan menggunakan sistem klasikal hanya sampai di kelas IV.

Selanjutnya, sejak tahun 1950-an, Kiai As’ad mulai memberikan pelajaran tentang Tafsir al-Qur’an dengan Kitab Tafsir Jalalain karya Syekh Jalaluddin as-Suyuthi dan Syekh Jalaluddin al-Mahalli, khusus pada bulan Ramadhan dibaca selama 20 hari.

Seperti halnya pesantren pada saat itu, sistem pendidikan yang diterapkan adalah sorogan, wetonan dan bandongan. Baru setelah sistem pengajaran melanda banyak pesantren, pengajaran di Pesantren Sukorejo juga berubah menjadi klasikal dengan ditandai berdirinya lembaga-lembaga pendidikan formal yang berjenjangan dari tingkat MI, MTs hingga Madrasah Aliyah.

Pada tahun 1951, ayahanda KH. As’ad meninggal dunia. Kia As’ad sebagai putra sulung, langsung menggantikan posisi ayahnya sebagai pengasuh. Semenjak itu Kiai As’ad memfokuskan perhatiannya ke pesantren, kendatipun sesungguhnya mulai tahun 1925 sudah terlibat ikut mengurusinya.


Selama masa kepemimpinannya, banyak pihak mengakui keberhasilan Kiai As’ad di dalam mengembangkan dan memajukan pesantren tersebut. Pertama, tepat pada 14 Maret 1968 M/13 Dzulhijjah 1388 H, Kiai As’ad mendirikan sebuah Universitas, UNNIB (Universitas Nahdlatul Ulama Ibrahimy ) dengan satu fakultas Syari’ah, yang kemudian dalam perkembangannya berubah status menjadi Institut dengan tiga Fakultas, Syari’ah, Tabiyah dan Dakwah.

Kedua, pada tahun 1980 Kiai As’ad mendirikan SD Ibrahimy, SMP Ibrahimy, SMA Ibrahimy dan SMEA Ibrahimy. Dengan demikian pesantren menggunakan dua kurikulum secara sekaligus yakni kurikulum pesantren dan kurikulum pemerintah.

Dua tahun sebelum wafat, Kiai As’ad secara berturut-turut mendirikan dua lembaga pendidikan:

1. Madrasah al-Qur’an, diperuntukkan bagi yang ingin menghafal al-Qur’an
2. Al-Ma’had al-‘Aliy li al-‘Ulum al-Islamiyah Syu’bah al-Fiqh, khusus bagi mereka yang ingin memahami dan memperdalam Fiqih dan Ushul Fiqih. Lembaga yang terakhir ini didirikan ketika terjadi kekhawatiran tentang terjadinya kelangkaan ulama fuqaha, yang mampu merespon persoalan-persoalan zaman yang cenderung semakin kompleks.

Lembaga yang terakhir ini menjadi fokus perhatian Kiai As’ad sampai akhir hayatnya. Kiai kharismatik ini meninggal pada 4 Agustus 1990, di kediamannya Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo Jawa Timur.

D. Corak Pemikiran

Kiai As’ad dikenal sangat memahami berbagai kitab kuning, minimal dalam empat bidang ilmu, yaitu ilmu alat (nahwu, sharaf, dan balaghah), ilmu tauhid, ilmu tafsir dan ilmu fiqih. Untuk dapat memahami corak pemikiran beliau terdapat dua hal yang harus dilakukan. Pertama, dengan menyimak pesan-pesannya yag disampaikan dalam berbagai forum yang didokumentasikan melalui audio maupun kaset. Kedua dengan membaca beberapa buah karya beliau, baik dalam bidang fiqih ataupun dalam bidang tasawuf.

Dalam paham keagamaan, pikiran yang paling mendasar dari Kiai As’ad adalah pembelaannya terhadap cara beragama dengan sistem madzhab. Inilah pandangan yang erat kaitannya dengan sikap beragama dari mayoritas kaum muslim yang selama ini disebut Ahlussunnah wal Jama’ah. Paham bermadzhab ini timbul sebagai upaya untuk memahami ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah secara benar. Sebab dalam sejarhnya, berbagai upaya pemahaman terhadap dua sumber utama ajaran Islam itu sering menimbulkan perselisihan pendapat.

Bahkan, setelah Rasulullah Saw. wafat perselisihan itu sudah mulai meruncing. Tepatnya, sesudah kekuasaan tasyri’ dikendalikan oleh para sahabat, perselisihan itu timbul dan tidak mungkin lagi dihindarkan. Perselisihan ini kemudian melahirkan para pemikir besar (mujtahid) dalam bidang keagamaan. Karena jumlah mujtahid itu sangat banyak dan pikiran mereka tidak mudah dirumuskan secara sederhana, maka Kiai As’ad menyimpulkan untuk mengikuti madzhab yang empat.

BACA JUGA : Biografi KH. Abdul Wahab Hasbullah

Menurut Kiai As’ad, sebenarnya bukan hanya empat madzhab yang kita kenal. Ada banyak madzhab dan semuanya boleh diikuti seperti, Sufyan at-Tsauri, Ishaq ibn Rawahah, dan Dawud adz-Dzahiri, dengan satu catatan tidak mengikuti pendapat-pendapat mereka yang tertuang dalam literatur namun tidak terkodifikasi dengan baik atau dengan kata lain rantai pemikiran mereka terputus. Mengikuti pendapat mereka dikhawatirkan menyimpang dari pendapat pendirinya karena tidak ada pelestarian kodifikaisi tadi.

Bagi seorang muslim yang mampu melakukan ijtihad, menurut Kiai As’ad, diharamkan taklid. Namun bagi mereka yang mau melakukan ijtihad berlaku syarat-syarat yang sangat ketat. Sementara bagi yang tidak mampu melakukan ijtihad, silakan bertaklid kepada seorang mujtahid: “Man qallada ‘aliman laqiya saliman.”

Pada spektrum yang lain, Kiai As’ad juga mendalami ilmu thariqat. Menurut pendapatnya terdapat 40 thariqat yang sudah dipelajari secara mendalam. Dari masing-masing aliran, Kiai As’ad mendapat ijazah (izin) untuk mengamalkan dan mengajarkannya sebagai mursyid. Thariqat Naqsyabandiyah dan Qadiriyah inilah yang diamalkan Kiai As’ad sampai wafat.

Pengamalannya terhadap thariqat tersebut tercermin pada kehidupannya sehari-hari yang sufistik. Hidupnya sangat sederhana, Kia As’ad tinggal di rumah sangat sederhana di lingkungan perumahan keluarga pengasuh pesantren. Meskipun Kiai As’ad pimpinan tertinggi di pesantren tersebut, rumahnya tampak lebih sederhana ketimbang rumah pengasuh pesantren yang lain, bahkan bila dibanding dengan bangunan untuk para santri sekalipun.

Bangunan kamar-kamar santri yang cukup mewah dan modern, sementara rumah yang ditempati Kiai As’ad hanya bangunan semi permanen dengan ukuran kurang lebih 3×6 meter. Singgasana Kiai As’ad hanyalah amben yang dialasi tikar pandan dalam ruang dengan lantai dari tanah. Di situlah Kiai As’ad menerima tamu dari yang pejabat sampai ke petinggi negara sebagai ruang tamu dan ruang tidur. Pakaian kebesaran yang dikenakan dalam segala situasi dan kondisi pun tetap, terdiri atas baju piyama putih, sarung palekat putih, kopiah putih dan sandal selop.

Kesederhanaan sudah menjadi pilihan Kiai As’ad. Padahal beliau adalah seorang hartawan, kekayaannya melimpah ruah. Usaha pertokoan di bidang bisnis di kota Situbondo dan Asembagus terbilang sukses dan berskala besar. Belum lagi di kawasan wisata, baik di Situbondo maupun di Bali beliau memilki restoran yang cukup laris. Di Makkah tempat ia menuntut ilmu, ia juga memiliki rumah berlantai tujuh, yang setiap musim haji disewakan sebagai penginapan jamaah Haji. Belum lagi terhitung sawah, tambak dan perahunya di berbagai tempat sekitar Situbondo, Jember, Bondowoso dan Banyuwangi.

Meski sebagai penganut thariqat yang taat, ia tidak pernah mengajak santrinya untuk mempelajari dan mengamalkan thariqat, lebih-lebih mengajarkannya. Ia memandang bahwa thariqat memiliki konsekuensi yang cukup berat. Bagi orang yang imannya belum kuat, ilmu agamanya belum cukup luas, dan belum cukup usia, bisa tersesat dalam kemusyrikan. Karena itu, dia berpesan: “Hati-hati mengikuti thariqat.”

Dalam beberapa forum, baik dengan para santrinya yang masih aktif maupun dengan para alumninya yang sudah pulang, Kiai As’ad sering menjelaskan bahwa thariqat yang paling baik adalah Nahdlatul Ulama. Lebih jauh, ia berharap kepada para santrinya tatkala sudah pulang ke kampung halamannya untuk menjadikan NU sebagai thariqat perjuangannya. Tidak jarang, ia melarang para santrinya untuk mengamalkan thariqat tertentu.

Walaupun Kiai As’ad adalah seorang pengamal thariqat, ia tidak segan-segan untuk menyorot bidang thariqat juga. Thariqat sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah jelas tidak ditentang, namun tidak semua thariqat berjalan sesuai dengan tuntunan syari’at, sehingga beliau senantiasa menjelaskan duduk persoalan baik dalam deramah-ceramahnya maupun dalam berbagai kitab karyanya.

Salah satu thariqat yang menjadi kritik Kiai As’ad adalah thariqat Tijaniyah. Menurut analisis Martin Van Bruinessen, Kia As’ad sedang gusar dan merasakan kemajuan thariqat Tijaniyah sedang mengancam kekuasaannya sendiri, dan dia melawannya secara berhadap-hadapan, dengan menggunakan seluruh pengaruh yang dapat ia kerahkan. Kiai As’ad menemukan sebuah risalah anti Tijaniyah yang telah memainkan peranan penting dalam polemik tahun 1920-an dan mencetaknya kembali serta menyebarkannya secara luas, baik dalam bentuk aslinya yang berbahasa Arab maupun terjemahan dalam bahasa Madura.

Begitu juga Kiai As’ad seringkali melancarkan kritik pedas terhadap modernisme yang memandang rasio sebagai segalanya. Salah satu kritik tajam yang dilontarkan Kiai As’ad terhadap manusia modern adalah mereka dinilai dilanda kehampaan spiritual. Kemajuan pesat dalam bidang ilmu dan filsafat rasionalisme sejak abad ke-18, yang diraskan tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek nilai-nilai transenden, satu kebutuhan vital yang hanya bisa digali dari sumber Wahyu Ilahi. Banyak orang pandai, pinter dan cerdas yang tidak bisa memperbaiki dirinya sendiri.

Sedangkan pada pemikiran politik, Kiai As’ad tampaknya sejalan dengan doktrin politik Sunni sebagaimana yang dikembangkan oleh Imam al-Mawardi dan Imam al-Ghazali. Pada dasarnya doktrin ini adalah sangat akomodatif terhadap penguasa. Hal ini dikarenakan doktrin ini dirumuskan posisi rakyat sangat lemah vis a vis penguasa (khalifah), sehingga rakyat diminta untuk patuh dan taat terhadap penguasa. Dengan pemahaman ini, kita dapat memaklumi mengapa, misalnya beberapa tokoh NU termasuk Kiai As’ad dalam beberapa hal terkesan sangat akomodatif terhadap pemerintah.




Editor : Mohamad Asror M.

0 komentar:

Post a Comment